Thursday 1 February 2018

Episode 11. Kajian Simbol 'Tha Ha'

11. KAJIAN SIMBOL ‘Tha Ha’
       Oleh: Arif Budi Utomo


                   Thaa Haa . (QS. 20:1) 
Thaa Siin . (Surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, (QS. 27:1) 
Thaa Siin Miim (QS. 28:1) 
Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an) yang nyata (dari Allah). (QS. 28:2) 

Menghantarkan kajian kehadapan sidang pembaca. Kembali bahwa kajian ini adalah sebatas pemahaman penulis. Untuk menambah keyakinan (diri) penulis.  Diungkap sebagaimana khabar saja. Jika bermanfaat maka kebenaran datangnya dari Allah. 

Serasa berdoa kepada_Nya agar terlindung dari kemudharatan atas ini. Maka dalam keyakinan niat ‘membaca’, atas hal yang  ingin di komunikasi kan Al qur an kepada kita. Kajian ini dihadirkan dalam permohonan perlindungan Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. 

Ruang antar dimensi 

Kita sudah sering mendengar adanya ruang antar dimensi. Dalam istilah tasawuf juga dikenal  kalimat metafora yang berkonotasi adanya suatu tempat (mighrab/tabir) yang memiliki makna hampir mendekati makna ruang. Kita seperti diperkenalkan istilah ruang Allah’ atau ‘kelas Allah’ atau dengan istilah yang lebih familier lagi adalah istilah ‘rumah Allah’.  Yaitu suatu ruang tersendiri yang akan menjebatani antara dimensi. (Yaitu) dari dimensi satu ke dimensi lainnya lagi. Bisa saja dari dimensi yang lebih tinggi kepada dimensi yang lebih rendah. Atau dari dimensi yang lebih rendah ke dimensi yang lebih tinggi lagi. 

Dalam pemahaman yang saya maksudkan ini, maka ketika di dalam ruangan ini kita (telah) difasilitasi untuk mengatasi problematika segala macam kesulitan bahasa manusia (di pahamkan dengan sendirinya).  Sehingga ketika berada di ruangan ini, kita seakan-akan seperti sedang (dalam keadaan) berdialog dengan makhluk lainnya yang memiliki ordo dalam dimensi lebih rendah, misalnya dengan binatang, tumbuhan, dengan angin dan banyak lagi yang lainnya. Atau bahkan dengan makhluk-makhluk yang tak kasat mata.  Dengan jin, syetan atau lainnya. 

Mereka berdua di fasilitasi di ruang ini untuk saling bertukar informasi.
 Dalam  bahasa mereka sendiri. Bahasa yang dimengerti oleh kedua makhluk yang saling berkomunikasi.  Dua makhluk yang berbeda dalam  satu bahasa yang sama. 

Ruang yang saya maksudkan ini tentunya bukan sebagaimana ruang yang ada di alam materi. Ruang ini lebih menyerupai keadaan ‘hal’ dimana ketika kita berada di dalam suasana ini, kita seakan-akan mengerti, memahami dan sepertinya (memang)  sedang berbicara langsung dengan entitas yang kita ajak dialog itu. Meskipun mereka bukan bangsa manusia. 

Al quran sendiri telah mengisyaratkan adanya ruang ini. Ketika Nabi daud dan Nabi Sulaiman berbicara dengan para burung, semut, angin dan gnung-gunung. Dan juga ketika Nabi Musa berbicara dengan Allah. Ruang ini adalah ruang yang ‘sangat dekat’ dengan makhluk Allah. Atau ‘rumah Allah’.  Inilah ruang yang dalam pemahaman saya disimbolkan dengan  Tha Sin

Ruang ini juga (mampu) memfasilitasi dimensi ghaib dan realitas, sehingga karenanya  manusia bisa berkomunikasi dengan makhluk ghaib.  Dan bahkan yang lebih fenomenal dan mungkin kontaversial adalah  jika ruang ini,   (yaitu) dimaknai sebagai sebuah ruang antara dimensi dimana  kita bisa (serasa)  berada ‘dekat’ dengan Allah, berdialog dengan mesra dengan-Nya bagai dua orang kekasih, kita (seakan-akan) berbicara dengan Allah di dalam ruang ini.  

Ruangan inilah yang saya usung dalam pemahaman yang disimbolkan dengan ‘Tha Ha’. 

Mengapa saya sebutkan seakan-akan, sebab bagi manusia biasa, ruang ini hanya ada dalam dimensi keyakinan. Hanya yang melakukannya saja yang tahu hakekat sebenarnya. Sebagaimana ungkapan yang sangat kontraversial dari Al Hallaj yang mengatakan bahwa ‘Ana Al Haq’.  Menurut pemahaman penulis pada saat itu Al Hallaj sedang berada di dalam ruangan yang di maksudkan tersebut (baca; suasana/hal). 

Dalam ruangan ini, diri kitalah yang  (nampak oleh lainnya) sedang berdialog dengan diri sendiri. Suara-suara ‘entitas’ lain tersebut kadang bermunculan melalui pita suara kita. Inilah yang terjadi pada umumnya. (Ada kekecualian bagi orang-orang yang di kehendaki, seperti halnya para nabi).  Semisal dalang, maka sang dalang dapat menyuarakan apa saja. Seluruh tokoh berbicara melalui sang dalang. Itulah yang nampak oleh kita.  Para nabi yang terpilih tentunya sudah di berikan ‘ruang’ khusus dimana para nabi akan di undang untuk berdialog’ dengan-Nya. Seperti yang terjadi pada nabi Musa as. 

Namun tentunya akan berbeda kejadiannya dengan  dengan manusia biasa.  Seperti halnya apa yang terjadi pada Al Hallaj. Karena ungkapannya inilah, Al Hallaj harus menerima hukuman mati yang mengenaskan. Ungkapan yang dikatakannya di tafsiri keliru. Keadannya yang sedang berada di dalam ‘ruang’ ini di nampakkan kepada manusia lainnya. Padahal ‘dimensi ruang’ ini adalah dimensi yang sangat ‘pribadi’ antara ‘sang hamba’ dan ‘Kholik’. Dimensi yang berada dalam ‘frekuensi’ khusus. Dan manusia harus menjaganya agar tetap begitu. Tetap dalam ‘kerahasiaan’nya.  Ruang yang disediakan agar setiap manusia dapat berdua dengan Tuhannya.  Jika rahasia ini di uangkapkan pasti akan menimbulkan fitnah adanya. 

Hal inilah nasib yang dialami Al Halaj. Hakaketanya dia sedang berada di ‘ruangan ini’. Namun benarkah Al Halaj tengah berdialog dengan Allah SWT ?, ataukah berdialog dengan entitas yang lainnya?. Maka jawabnya adalah “walohualam bisawab”. Hanya Allah yang tahu hakekat sebenarnya. Dalam realitasnya tidak ada satu manusiapun yang tahu kebenarannya. Dimensi ini hanay ada dalam keyakinan Al Hallaj, yang melakoninya.  Di akherat nanti,  Allah akan  menjadi hakim atas apa yang terjadi. 

Kematian Al Hallaj waktu itu telah menggeparkan dunia tasawuf , sehingga melahirkan sifat-sifat mutasawif ke arah yang lebih arif dan bijak bagi generasi setelahnya. Dan mereka lebih hati-hati dalam menjaga diri, saat sedang berada di dalam ‘ruangan’ ini. Mereka tidak lagi menyengaja menampakkan diri hadapan manusia biasa, ketika sedang berada di ‘ruangan’ ini.  Inilah hikmah yang dapat di ambil atas kejadian tersebut. 

Namun kajian ini ingin berlepas dari spekulatif itu. Kajian ini hanya ingin menghantarkan pemahaman penulis. Bahwasanya ruang antara dimensi tersebut menurut keyakinan penulis adalah memang ada di sediakan dan keadaannya  telah diisyaratkan oleh Al qur an itu sendiri. Ruang yang memfasilitasi agar manusia mampu berkomunikasi dengan entitas ‘jatidiri’ lainnya.  Ruang itulah yang dalam keyakinan penulis telah disimbolkan dan diisyaratkan  dengan satu huruf huruf  Tha. 

Merangkai makna yang terurai 

Setelah Tha kita maknai sebagaimana pemahaman yang diulas dimuka,  maka selanjutnya akan dapat kita pahami jika Sin adalah, symbol untuk  untuk mewakili seluruh entitas yang diajak berkomunikasi. Sin adalah simbol seluruh makhluk Allah yang memiliki ‘jatidiri’. Seluruh entitas yang dalam pemahaman kita adalah ‘makhluk-makhluk’ ciptaan Allah. Baik dari golongan yang kita ketahui maupun dari yang tidak ketahui. Dalam ruang ‘dialog’ ‘Tha Sin’ inilah seluruh makhluk-makhluk Allah dapat berkomunikasi. 

Sementara  Ha sendiri telah kita urai maknanya dalam kajian ‘Ha Mim’ sebelumnya. Maka kita dapati makna dan pemahaman ‘Tha Ha’ dalam suatu kesatuan makna. (Yaitu) Dalam ruang ‘dialog Tha Ha’ inilah manusia dapat bermunajat dan berdialog dengan Allah SWT. Inilah rangkaian pemahama yang saya usung dalam rangkaian kajian. 

Kunci untuk memasuki ‘ruang Tha Sin’ ini,   sudah pernah diajarkan Allah SWt, kepada nabi Daud as dan  Sulaiman as. Dan Allah memberikan ijin-Nya kepada nabi Sulaiman as, untuk mengajarkan kepada siapa saja yang dikehendaki beliau. Tanpa pertanggungjawaban.  Artinya bahwa setelah ilmu ini di ajarkan, manusia itu sendirilah yang akan memikul pertanggung jawabannya sendiri. Oleh karenanya kita dapati sekarang banyak manusia bisa memasuki ‘ruang’ dimensi alam ghaib. Berbicara dengan para jin dan makhluk di dimensi itu. Manusia juuga bisa berbicara dengan binatang, banyak yang kemudian menjadi pawang ular, pawang buaya, pawang hujan  dan masih banyak sekali yang  lain-lainnya. 

Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman”. (QS. 27:15) 

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (QS. 27:16) 

Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya, (QS. 38:36) 
dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam, (QS. 38:37) 
dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu. (QS. 38:38) 
Inilah anugerah kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab. (QS. 38:39) 

Sehingga dalam pemahaman ini rangkaian makna menjadi lengkap yang di symbolkan dengan ‘Tha Sin Mim’. (Yaitu) ada ruang ada makhluk dan ada kesadaran (Mim). Sebuah rangkaian yang saling menguatkan keberadaan (eksistensi). 

Sementara kunci untuk ruang Tha Ha’ sudah diisyaratkan saat nabi Musa berbicara dengan Tuhannya.  Kejadian ini banyak menimbulkan multi tafsir. Kesulitan dalam mengungkap kejadian sebagaimana keadaan yang sebenarnya  terjadi, oleh karena sebab tidak ada istilah yang mewakilinya (dikarenakan) Manusia belum pernah mendapat referensi atas keadaan ini (makanya tidak di kode/dinamai.  Menjadi alasan lainnya jika berita ini kemudian (seakan) terabaikan. 

Symbol Ha secara terpisah,  telah kita ulas dalam kajian Ha Mim’, yang mengandung makna adalah Kesadaran Universal. Kesadaran yang mewakili Allah di alam semesta. Kesadaran ini yang sering kita dapati di dalam surah Al qur an ~ menyebut dirinya sebagai ‘k-a-m-i’. 
Sebagaimana dalam surah (QS. 38; 39)   “Inilah anugrah kami ;…”. 

Maka dengan demikian rangkaian Tha Ha’ juga dapat kita uraikan maknanya

Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Rabb semesta alam “. (QS. 28:30)  (Kemudian Musa diseru): “Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman. (QS. 28:31)·“… 

Inilah ruang yang di peruntukan bagi Nabi Musa, tempat dimana Nabi Musa dapat berbicara langsung dengan Allah.  Ruang yang menempati Ha. Adalah dimensi yang tidak bisa disebutkan. Dimensi yang dekat dengan Allah. Dimana menjadi antara dari dimensi yang tidak bisa disebut menuju kepada dimensi ruang dan waktu. Dua dimensi ini akan bertemu. Disinilah ruang yang dimaksudkan. Maka sering kita mendapatkan istilah bahwasanya Allah berbicara dari balik ‘tabir’

Pemahaman Ha dalam kesadaran kolektif berbagai agama, memang sering di salah artikan. Kesulitan memahami hakekat Kesadaran Universal (Ha) adalah sebab Ha yang (mampu) menguasai kesadaran Mim,(sebab Mim adalah bagian intergral dari Ha).

Karenanya mereka menganggap Ha adalah entitas tertinggi dan Tunggal di alam semesta. Sehingga Ha dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. 

Kesadaran manusia (Mim) hanya mampu sampai Ha.
Ketika sudah bersatu dengan Ha, maka kesadaran Mim akan lenyap. Makanya mereka menganggap telah bersatu dengan Tuhan itu sendiri. Kesadaran ini bergitu berpilin. Menjadi anggapan dalam ‘angan’ semata. (Pemahaman atas ‘Ha Mim’ dapat diperdalam di  kajian ‘Ha Mim’ ). 

Pemahaman Ha, juga sering disebut sebagai Ruh Alam Semesta atau Dewa dalam pemahaman Hindu. Sayangnya lagi, mereka juga  menganggap bahwa   Ha’  inilah, (sebagai) Tuhan itu sendiri. Karena sebab  pemahaman inilah, mereka kemudian berusaha mengembangkan ajaran untuk dapat bersatu dengan Ha.  Bersatu dengan Tuhan menurut anggapan ajaran ini. 

Mereka dalam anggapan bahwasanya  symbolisasi Ha dalam Al qur an adalah sebagai  Tuhan. Inilah yang perlu di kritisi. Maka dari pemahaman inilah  berkembang ajaran Hulul, atau  immanenstis bersatunya ‘manusia dengan Tuhan’.  Selanjutnya derivatifnya, menjadi ajaran  Wahdatul Wujud, dan di Jawa terkenal dengan Manunggaling Kawula Gusti

Sekali lagi, sejatinya sebab ajaran ini menganggap Ha sebagai  Tuhan.  Menganggap bahwa  Ha adalah sebagai tempat ’akhir’  kembalinya mereka.  (Yaitu) Bersatunya antara  kesadaran Mim dengan  Ha’  dan selanjutnya menganggap  bahwa penyatuan tersebut adalah  sebagai akhir perjalanan rohani mereka. 

Padahal berdasarkan kajian atas simbolisme Ha dan Mim tersebut dapat kita temukan fakta bahwa Ha dan Mim adalah sama-sama makhluk Allah. Allah sendiri yang menciptakan mereka. 
(Hal ini di ulas tersendiri dalam kajianAlif Lam Mim Ra’)

Allah sebagai wujud entitas tertinggi telah memberikan ‘amanah’ kepada langit dan bumi untuk mengatur urusan. Baik itu kepada Ha ataupun kepada Mim.  (Yaitu) urusan yang di perintahkan kepada mereka. Perintah tersebut kita lihat sebagaimana keadaan sekarang. Alam semesta kita lihat harmoni dengan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Tidak ada cacad sedikitpun di antaranya. 

Semua bekerja sesuai dengan perintah Allah. Mereka bersama-sama menyebut diri mereka dengan KAMI.  Perintah-perintah ini senantiasa terjaga sebagai Al qur an. Sebagai ayat-ayat Allah. Tidak ada satupun dari mereka tidak mengikuti ayat-ayat ini. 

Maka akan nampak (keadaan) seperti halnya alam semesta mengatur keadaannya sendiri. Alam semesta seperti ada begitu saja. Maka sebagian kaum matrialis tidak meyakini adanya Tuhan yang mengatur semua urusan di langit dan di bumi. Karena memang setiap ‘jatidiri’ sudah pasti berjalan sesuai kehendak Tuhannya. Seperti begitu saja,  seketika muncul dalam keadaan yang begitu. Serba otomatis. 

Maka untuk menjembatani ‘kebingungan’ ini. Allah menyediakan ‘ruang’ khusus kepada manusia yang berakal. Kepada manusia yang hendak kembali kepada Tuhannya. Untuk senantiasa dekat, dan berada di ruangan ini, di rumah ini, disinilah manusia diperkenankan untuk berdialog dengan Tuhannya.  Ruang yang memfasilitasi segala rahsa, segala bahasa, segala ilmu. Inilah ruangan Allah. Ruang yang sangat dekat dengan Allah. Dimana Allah akan ‘berbicara’ kepada kita. 

Dan juga kepada manusia yang ingin berkomunikasi dengan makhluk-makhluk lainnya. Telah juga disediakan ‘ruangan’ khusus. Agar diantara mereka bisa saling berkomunikasi.  Agar manusia yakin bahwasanya semua makhluk Allah senantiasa bertasbih mengagungkan nama-Nya (karena diantara mereka mampu bersapa). Kembalinya agar manusia ini yakin atas hakekat Tuhan yang mengatur, menciptakan dan mematikan, menghidupkan, dan seluruh asma-asma-Nya (Asmul Husna) agar nama-nama-Nya , manifestasi dari sifat-Nya dapat dikenali manusia. 

Ruang inilah yang masing-masing di symbolkan sebagai Tha Ha, Tha Sin, serta  keadaan bagaimana sedang dalam suasananya di symbolkan sebagai Tha Sin Mim

Maka karena hal ini manusia kemudian hari akan mampu ber-saksi atas La ilaha ilallah. Muaranya akan kembali kesitu-situ  lagi. Dari seluruh pemahaman yang dihantarkan maka muaranya akan selalu menuju kepada hakekat makna syahadat.   

Keadaan ini dengan lugas di informasikan kepada kita, melalui  firman-Nya dalam ayat kursi yang senantiasa kita baca sehari-hari  (Lihat QS. Al ba qoroh ; 255). Maka menjadi kepahaman sekarang, maka menjadi jelas sebab apa, (yang) menjadikan Ayat Kursi tersebut , menjadi ayat yang senantiasa kita  baca berulang setiap hari. 

Inilah kaitan antara ‘Tha Ha’, ‘Tha Sin’, danTha Sin Mim’. Dengan mengurai hakekat simbol-simbol ini kita akan dapat menguraikan kemana arah pemahaman kesadaran kolektif yang sekarang ini menjadi ‘trend’. Al qur an berusaha memfasilitasi keseluruhan pemahaman yang berada di dalam kesadaran manusia. Menunjukkan kepada mereka hakekat alam semesta dan bagaimana keberadaan masing-masingnya diantara mereka semua itu. 

Ruang yang memfasilitasi 

Keberadaan ruang ini menunjukan bahwa Allah di luar dimensi alam semesta ini. 
Kita hakekatnya tidak pernah tahu wujud Allah itu sendiri.
Maka bagaimana kita bisa ‘bersatu’ dengan Allah?. 

Kita hanya bisa memaknai apa-apa yang sudah diciptakannya. Yaitu alam semesta ini berikut dengan isinya dan segala sesuatu yang berada diantaranya. Dalam skenario Allah Tuhan yang Menciptakan segala sesuatu.  Dan selanjutnya karena keberadaan alam semesta ini, kita meyakini atas keberadaan Tuhan. Dan karenanya kita selanjutnya mampu ber-saksi dengan ‘haqul yakin’ atas ‘la ilahaa ilallah’. 

Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan barat maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sungguh Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.’(QS. 02;115) 

Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS. 55;27) 

Maka dengan rangkaian pemahaman ini, diri dengan sadar akan (lebih)  meyakini lagi dan lebih dalam lagi  (atas keyakinan yang sudah ada)  dan ber-saksi atas firman ini; 

Katakanlah “ (Bahwa) Dia-lah  Allah Yang Maha  Esa’ 
“Allah tempat meminta segala sesuatu” (QS. 112; 1-2) 

“Kepunyaan Allah-lah, kerajan langit dan bumi; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’ (QS. 003 ; 189). 

Demikianlah kajian ini dihantarkan. Dengan permohonan maaf yang dalam. Sekiranya pemahaman ini akan berbenturan dengan sebagian yang lain, yang  juga   ‘membaca’.  Kajian ini hanya berusaha mengungkap keadaan, dalam meyakini ayat-ayat Allah dengan cara berbeda, karenanya bukan berarti tidak sama. 

Hakekatnya agama adalah ‘Tauhid’, Dhien adalah satu (yaitu) Islam. Kembalinya adalah Ina lillahii wa ina ilaihi rojiun. Semua akan kembali kepada Allah dalam bentuk pertanggung jawabannya masing-masing. Dalam konsekuensi besar,  (dengan keyakinan) inilah;  kajian ini di hadapkan kepada sidang pembaca. Dalam segenap takut dan harap. 


Konsekuensi diri ini, (akan) di hadapankan kepada  Allah, sang Hakim yang Maha Agung, yang membaca setiap lintasan hati di dalam diri ini. Karenanya hanya kepada-NYA diri ini memohon ampun, jika khabar ini tidak seperti keadaannya. Sebab diri hanyalah manusia ‘pembelajar’ yang sedang belajar ‘membaca’. Maka hanya kepada-Nya penulis memohon pengajaran. Semoga keadaanya memang demikian. Amin..amin,  ya Robbal ‘alamin. Insyaallah. 

Wallahualam bisawab


Pemahaman Tha Ha’ dalam suatu kesatuan makna yaitu dalam ruang ‘dialog’. DI ruang inilah manusia dapat bermunajat dan berdialog dengan Allah. Keberadan ruang ini menunjukan bahwa Allah di luar dimensi alam semesta ini. ‘Tha Sin’ adalah ruang bagi manusia yang ingin berkomunikasi dengan makhluk-makhluk lainnya. Tha Sin Mim’ adalah ruang agar manusia ini yakin atas hakekat Tuhan yang mengatur, menciptakan dan mematikan, menghidupkan, dan seluruh asma-asma-Nya (Asmul Husna) agar nama-nama-Nya , manifestasi dari sifat-Nya dapat dikenali manusia. 





==================================================================================
Samudra Simbol
Bagian I - SELESAI


Arif Budi Utomo
==================================================================================

No comments:

Post a Comment

SAMUDRA SIMBOL

Samudra Simbol Seri 1 - Bingkai Simbol ================================================================= Pengantar: https://sam...