9. KAJIAN SIMBOL ‘Nun’
Dari keseluruh kajian yang
dihantarkan, maka kajian inilah yang paling berat menimbulkan efek di badan.
Memasuki ‘hal’ untuk mengungkap keadaan (atas) apa yang dimaksudkan.
Menjadi kesulitan tersendiri bagi penulis. Jiwa dan raga yang masih penuh
‘nafsu’ dunia, tak mampu menembus dimensi ‘Nun Oleh: Arif Budi Utomo’ ini. Berkali-kali di coba, hasilnya
hanya ‘sakit’ merasuki. Setiap sel seperti mengalami ‘sekresi’, mengakibatkan
‘tubulensi’ akibat energy-nya, yang melemahkan jasmani dan rohani.
Dan hampir 5 hari sudah, kajian ini tetap belum juga terselesaikan.
Sungguh, jiwa ini belum mampu sampai kesana, meski hanya sekedar mencium baunya
saja.
Hanya dengan memohon ampunan-Nya,
hasil bacaan yang rasanya ‘banyak
kurangnya’ ini tetap dihantarkan. Meski hanya sekelumit yang ‘bisa’
disampaikan. Tak apalah, jika ternyata hanya seperti ini nyatanya. Semoga
menjadi berita pembanding saja, atas berita-berita symbol Al qur an yang
telah dibuat oleh ‘pewarta’
sebelumnya, yang ada di ‘dunia’ ini.
Nun , demi kalam dan apa yang mereka tulis, (QS.
68:1)
“berkat
ni’mat Rabbmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (QS. 68:2)
Maka kelak
kamu kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, (QS.
68:5) siapa di antara kamu yang gila. (QS. 68:6)
Dan malaikatpun bertanya, tak
mengerti (?)
Entah kemuliaan akhlak seperti apakah
yang diinginkan anak manusia dengan kekerasan?, dan Entah surga
bagaimanakah yang diangankan mereka, dengan membunuhi satu
sama lainnya?. Ribuan nyawa melayang, menjadi korban, demi untuk
mendapatkan tiket ke surga bagi setiap diri masing-masing?.
Kesedihan, ketakberdayaan,
ketakutan, melukai nurani manusia di hati yang terdalam. Kekerasan atas
manusia tetap saja menyisakan ‘perih’
dan ‘nelangsa’. Melukai arti
kemanusiaan itu sendiri. Kisah dari Sampang dan Sukabumi. Begitu juga
penggalan kisah FPI dan juga Ahmadiyah. (Dan juga) Serta begitu banyaknya
penyerta kisah-kisah lainnya, yang senada dengan itu, mewarnai ‘suasana alam’ di nusantara
ini. Membuat udara kota-kota di sini semakin sesak dan pekat
saja.
Masih lengkang dalam ingatan,
bagaimana (ketika) perang dan kekerasan telah ‘diminati’ jauh sebelumnya, al kisah yang
terjadi di Suriah, Turki, dan juga sebagian Negara-negara Islam yang tak
tersebut bagaimana rinciannya. Sejarah juga telah banyak mencatat ‘kekerasan’ dalam
label ‘perang’. ‘Agresivitas; dalam
label ‘kepahlawanan’.
Sejak dari bapaknya manusia
Habil dan Kabil. Kekerasan ini, menjelajah ke seluruh semenanjung arab,
asia, eropa, afrika, dan merambah ke banyak sekali negri-negri
lainnya. Kekerasan yang mengilhami setiap suku, ras dan golongan.
Menjadi identik dnegan mansuia itu sendiri. Banyak sekali
perang-perang atas nama harta, tahta, wanita dan agama. Disisi lainnya
telah banyak melahirkan kisah kepahlawanan. Namun tidak sedikit yang menyisakan
kesengsaraan. Dari perang Bharatayuda sampai perang Fitnah Kubro (Perang
Shifin). Dari Padang Kuruseta sampai Padang Karbala. Dari perang Salib
hingga sampai perang Dunia I dan Dunia II.
Semua menamatkan jalan ceritanya, dengan satu ending
matinya ribuan korban manusia !. Dan tangisan keluarga yang ditinggalkan !.
Tidakkah manusia tahu,
diantara serpihan peperangan itu, banyak sekali kisah sedih dan duka
anak manusia, perihal perang ini?.
Agresivitas manusia, menemukan
muaranya dalam peperangan. Perang dan perang dari jaman dahulu hingga sampaipun
jaman kini sama saja bentuk dan rupanya. Inilah kisah tragedy dan
keperkasaan manusia. Kisah kebanggaan satu kelompok diatas penderitaan kelompok
lainnya. Bergumulan diantara menang dan kalah. Selalu begitu
muaranya. Kekalahan melahirkan kesedihan.
Digilirkannya kemenangan akan melahirkan Pahlawan-pahlawan
di setiap kelompoknya masing-masing. Menyisakan
tanda tanya lagi di hati.
Kisah kepahlawan dibangun dari sepihan daging dan darah ribuan anak manusia.
Bahkan kadang mereka sendiri tak mengerti ‘perang’ ini untuk apa
dan siapa ?. Mayat lawannya di
nista, mayat sekutunya di puja, Jasa pahlawan yang di ingat sepanjang masa.
bahkan (bukankah itu) adalah mayat-mayat manusia. Tidakkah
(karenanya) sama keadaannya?. Hh…hh..!.
Begitulah kejadiannya, potret
peradaban manusia. Maka tak sedikit kemudian manusia bertanya. Mengapa
Tuhan membiarkan semua ini terjadi. Di pihak manakah sesungguhnya Tuhan berada?.
Semua kelompok mengakui bahwa Tuhan ada di pihaknya. Maka karenanya mereka
dengan teganya menghabisi nyawa manusia lainnya.
Untuk
siapakah kemenangan yang diraih ?.
Apakah setiap
kemenangan dalam peperangan ini akan dihadiahi surga ?.
Bagaimana
jika kekerasan di lakukan tidak dalam masa perang ?.
Sebagian manusia tak mengerti ada
apakah dengan anak manusia. Begitu mudahnya mereka menghabisi
sesamanya. Yang kalah meratapi, namun itu tak membuat jera, diaturlah
strategy, suatu saat akan dicoba lagi hingga sampai kemenangan nanti. Sebagai
pembalasan dendam bagi yang mati. Artinya semakin banyak membunuhi
lawan-lawannya, maka semakin besar kepuasan dan kemungkinan menang. Begitulah
keadaannya.
Mengapa harus begitu?.
Sungguh pertanyaan yang tak pernah
ada habisnya, sepanjang peradaban anak manusia itu
sendiri. Jangankan manusia malaikat sendiri juga bertanya dalam kegundahan
yang sama, bertanya kepada Tuhannya;
“…Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?”
Rabb
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui“. (QS. 2:30)
Malaikat sudah jauh hari, mensinyalir
sifat ‘kebuasan’ manusia yang haus darah. Manusia akan
menumpahkan darah sesamanya. Inilah karakter ‘purba’ yang akan
terus dibawa manusia sampai akhir jaman nanti. Manusia dalam setiap
peradabannya akan senantiasa mencari ‘lawan’ untuk
memuaskan ‘ego’ dirinya.
Sifat ‘kepahlawanan’ dibangun atas kemenangan
dalam peperangan. Menghancurkan atau mengalahkan lawan inilah ‘kemenangan’. Pahlawan dimaknai, jika
mereka kembali dengan kemenagan yang gemilang di medan perang.
Setiap Pahlawan akan mendapatkan
tempat tertinggi dalam kesadaran manusia. Setiap Pahlawan akan ‘dikenang’ dan
di hadiahi ‘surga’. Maka setiap manusia dalam lubuk hatinya ingin
menjadi Pahlawan. Dan karenanya, setiap manusia mudah sekali di ‘kompori’
sifat ‘kepahlawanan’ dalam dirinya. Oleh karena itu, saat
kepadanya diberikan tantangan untuk menjadi seorang ‘Pahlawan’, mereka dengan sukahati, meski harus rela menjadi
‘mortir’. Menjadi seorang ‘Pahlawan kesiangan’ dalam anggapan kita.
Dengan cuci otak ‘model’ seperti
inilah kaum radikalis, meminang para ‘penganten’nya. Dengan iming-iming
predikat ‘pahlawan’ dan hadiah ‘surga’ bagi
pelakunya. Dan keadaan seperti ini bukanlah monopoli agama saja.
Dalam perebutan wilayah dan kekuasaan, politik, serta lain-lainnya, juga
menggunakan methode-methode seperti ini.
Karena sebab (ke-ingin-an) menjadi pahlawan’ adalah ‘fitrah’ manusia
itu sendiri.
Maka di jaman sekarang ini, dimana
perang perebutan wilayah sudah tidak jamannya lagi. Perang antara kerajaan dengan
kerjaan sudah tidak disukai. Manusia mencari lahan baru dengan melebarkan
‘wilayah’. Perang antar umat beragama, perang antar keyakinan menjadi ‘mode’
terkini. Terjadi gesekan sedikit, perbedaan saja sudah menyult amarah dianatra
mereka.
Maka teriakan yang datang,
“Kami Sedang Menyembah Tuhan, Mengapa Kami Dibunuhi ?.”
Semakin saja menyayat hati, (yaitu) atas hati-hati
tersembunyi yang masih peduli akan nasib manusia di muka bumi ini.
Mereka yang dianggap
‘GILA’ (?)
Sungguh, meskipun tidak ada kebaikan yang kita dapatkan dari
perang. Nyatanya kekerasan dan peperangan telah mengajarkan banyak hal kepada
manusia. Diantara sabetan pedang, dan desingan peluru, ada hati-hati yang
penuh empati. Hati yang tidak pernah berpihak kepada siapa yang sedang
bertikai. Mereka bahu membahu menolong yang terluka. Mereka menyelamatkan
anak-anak, wanita dan orang tua. Membawa, menjauh dari medan pertempuran.
Mereka nyaris tak memperdulikan nasibnya sendiri.
Mereka datang dari mana saja, dari
suku apa saja, dari agama apa saja. Mereka datang mendatangi daerah-daerah
konflik. Hati mereka begitu halus. Mereka tak peduli atas konflik apapun yang
melatari peperangan itu. Mereka hanya datang demi kemanusiaan itu
sendiri. Tekad mereka adalah menyelamatkan nyawa manusia. Tak peduli agama
mereka apa, tak peduli bangsanya apa. Mereka sering bahkan di sebut ‘gila’
dengan perjuangan mereka itu. Namun sungguh mereka itu bukan orang
‘gila’. Merekalah orang-orang yang memiliki hati. Dengan tindakan
nyata mereka menyelamatkan nyawa manusia.
Inilah salah satu karakter jiwa yang
telah di tuliskan ‘tinta emas’ (baca; kebaikan) sehingga patut di symbol
kan. Mereka sering luput dari bahasan kita. Mereka orang-orang yang tidak
pernah mencari sensasi dan publikasi. Namun mereka selalu ada. Menyeruak
diantara manusia-manusia biasa. Kita sering mendengar, ada relawan luar
negri yang berusaha menyelamatkan satwa-satwa yang hampir musnah. Merekla
menyelamatkan binatang-binatang. Mereka tidak perduli jika di katakan ‘gila’,
jauh-jauh datang dengan bekal bahasa minim, birokrasi yang sulit. Namun tekad
mereka membaja, untuk menyelamatkan para binatang.
Begitu juga banyak sekali jiwa yang
terpanggil, mengabdikan diri demi alam. Kerusakan pada alam terjadi
disana-sini, membuat keprihatinan diri mereka untuk tampil memyelamatkan bumi.
Kisah-kisah seperti ini juga sering kali luput dari pemberitaan. Mereka tidak
memandang Negara manapun. Jika ada kerusakan alam, meraka selalu tampil di
depan menyematkan bumi ini dari kerusakan, yang diakibatkan manusianya itu
sendiri.
Perilaku ‘buas’ manusia atas manusia
lainnya. Perilaku ‘penindasan’ kelompok manusia satu kepada kelompok manusia
lainnya. Telah menyadarkan manusia-manusia ini. Untuk tampil menyelamatkan jiwa
para korban konflik dimana saja. Perilaku kesewenangan kekuasaan, kekuatan
politik yang ‘menindas’, rakyatnya sendiri. Akan mengakibatkan ‘peradaban’
yang ‘chaos’.
Jiwa-jiwa manusia di dalamnya akan mengalami ‘ketakutan’. Mereka akan
melahirkan kesadaran kepada penerusnya, sebuah kesadaran kolektif, (yaitu)
mentalitas yang ‘sakit’. Kekerasan
akan melahirkan dan mengajarkan kekerasan lagi kepada generasi berikutnya.
Dalam kegelapan tersebut ada saja,
manusia yang berani mengingatkan penguasa. Keberanian mereka yang melawan
penguasa. Keberanian mereka yang menentang arus. Keberanian mereka dalam
menghadapi ‘main stream’ arus
kesadaran kolektif. Menyebabkan mereka disangka ‘GILA’. Oleh kaumnya dan juga
oleh kebanyakan teman-temannya.
Dan juga dalam hal suasana lainnya. Perang yangtidak pernah disadari
oleh manusia itu sendiri. Adalah perang pemikiran, perang kesadaran, yang
menghancurkan ‘akal’ sehat manusia, yang telah mengakibatkan ‘kejumudan’ pemikiran.
(Yaitu) Keadaan kesadaran mereka telah menyembah selain
Allah. Dan mereka menganggap diri mereka menyembah Allah.
Inilah hakekat perang kesadaran. Para
nabi datang mengingatkan penguasa, para pembesar istana, dan mengingatkan para
kaum cendikia, para kaum yang mengusai massa. Inilah perang yang pada
gilirannya nanti dan saatnya pasti akan mengalami ‘titik’ balik. (Ketika)
kesadaran kolektif berhadapan dengan kesadaran
‘suci’ ini. (Walaupun meski pada awalnya, mereka oleh penguasa
dianggap gila). Manusia diajari dengan pengalaman-pengalaman ini, yang
bergantian di setiap peradaban, menyebabkan manusia kemudian semakin cerdas,
mampu membedakan yang baik dan buruk. Jiwa terus di sempurnakan dalam
pengajaran ini.
Sejarah telah banyak mencatat, mulai
dari sekedar cerita ‘fantasi’ , dan
juga kisah riil lainnya. Mulai dari cerita ‘epik’
cerita kepahlawan, atau lainnya semisal Mahabarata dan juga Ramayana. Juga pada
kisah-kisah Bhagavat Gita. Bagaimana para kesatria berusaha mengabadikan diri
demi mengangkat harkat kemanusiaan itu sendiri.
Seperti kisah yang terjadi
pada kisah Sidharta ,
bagaimana terjadi pergumulan serius pada jiwanya, melihat keadaan
masyarakatnya. Dirinya tidak tega melihat jiwa manusia dalam penderitaan dan
kegelapan pada masanya. Kemudian dia mencari pencerahan (dalam)
upayanya menyelamatkan jiwa-jiwa manusia dari penderitaan dunia.
Banyak sekali manusia-manusia yang
sempat tercatat sejarah yang mengabdikan dirinya demi harkat
kemanusiaan itu sendiri, tanpa pamrih. Dan lebih banyak lagi lainnya yang tidak
tercatat. Begitu saja dilupakan. Mereka berlepas diri dari pertikaian antar
kelompok.
Mereka datang hanya ingin menyelamatkan (jiwa) manusia.
Kesadaran yang di sempurnakan
Kesadaran manusia untuk menyelamatkan
manusia lainnya. Jiwa yang penuh empati, jiwa yang penuh kasih sayang, welas
asih. Memiliki keprihatinan yang dalam. Jiwa yang senantiasa hanya berdoa
kepada Tuhannya. Jiwa yang langsung berada di depan untuk menyelamatkan manusia
lainnya. Demi kemanusiaan itu sendiri.
Jiwa seperti inilah Jiwa yang ‘cerdas’.
Kepada jiwa-jiwa seperti ini, Tuhan
mengajarkan arti ‘manusia’.
Kepada jiwa-jiwa seperti inilah,
Tuhan menyebut dengan mesra. Jiwa-jiwa seperti inilah, yang
memiliki (dalam) keyakinannya, dalam keprihatinannya, selalu berusaha
menyelamatkan jiwa-jiwa manusia yang mengalami ‘penderitaan’. Jiwa-jiwa seperti inilah yang dengan segenap jiwa
raganya ingin menyelamatkan jiwa manusia lainnya agar selamat dunia dan
akherat.
Jiwa-jiwa seperti ini, dlaam
keadaannya sering diangap seperti ‘orang gila’, karena mereka berani menabrak ‘main stream’ yang ada. Mereka tidak
takut akan berbenturan kepada siapa saja. Tujuannya mereka adalah ‘mengingatkan’
manusia lainnya agar selamat dunia dan akherat.
Maka diceritakanlah dalam Al qur an
ketika Nabi Musa datang kepada Raja Fir aun, ketika Nabi Luth datang kepada
kaumnya, dan para nabi di kisahkan berada di jalan ini. Sebagaimana juga
Rosululloh yang begitu prihatin atas jiwa-jiwa manusia. Masa dimana jaman
tersebut, penuh kegelapan (masa jahiliyah). Hingga karenanya Rosululloh
disangkakan ‘gila’. Sebab beliau mengingatkan para pembesar Kurais.(QS. 68:2).
Jiwa para nabi, para syuhada, jiwa para wali, yang
berusaha menyelamatkan jiwa manusia, jiwa yang senantiasa selalu berfikir terus
akan nasib manusia. Bergumulanlah kepedihan dalam jiwanya. Dalam
pemikirannya. Bagaimana mengangkat harkat dan derajat ‘kemanusiaan’ sendiri.
Bagaimana caranya mengentaskan jiwa yang berada di dalam kegelapan.
Mereka senantiasa diliputi perasaan itu. Jiwa yang penuh
kasih sayang. Jiwa yang hanya memikirkan keselamatan (jiwa) manusia
lainnya. Jiwa seperti inilah yang saya usung di symbolkan oelh Al qur an
dengan satu huruf ~Nun.
Entitas inilah yang sepanjang kajian saya, saya maksudkan
sebagai entitas yang langsung mendapat pengajaran Allah.
Jiwa-jiwa yang telah di sempurnakan dalam pengajaran Allah,
dan menempati intelejensi spiritual tertinggi, telah di di symbolkan dengan ~Nun~
Menjadi guratan garis yang
membingungkan. Sketsa yang kadang tak sama. Bagimana manusia di dewasakan
dengan kepedihan hidup, dengan kehilangan harta dan nyawa, dengan ketakutan
atas peperangan. Siapakah manusia yang paling bertakwa jika mereka di
gulirkan semua itu. Dengan cara bagaimana mereka menuliskan goresannya di
jiwa-jiwa mereka. Apakah mereka akan tetap ber syukur ataukah mereka akan kafir
dan menghujat Tuhannya.
Kasus Rohingya menyisakan banyak
misteri, kasus Sampang, kasus Sukabumi, dan masih banyak sekali di negri ini.
Bila kita menjelajah ke seantero negri maka kita akan dapati hal yang sama, di
Afganistan, Suriah, Irak, Turki, dan masih banyak lagi lainnya.
Guratan sketsa yang begitu dalam,
menyentuh kepada nurani. Akankan jiwa tergerak, menyingsingkan lengan baju, tak
peduli ini perang siapa (?). Mereka tak peduli siapakah yang menang dalam
peperangan ini. Mereka tidak berpihak kepada siapa-siapa. Mereka hanya berpihak
kepada kemanusiaan itu sendiri. Mereka hanya peduli jiwa-jiwa yang tersakiti
disana, jiwa yang berada dalam kegelapan. Mereka datang ingin menyelamatkan
jiwa-jiwa tersebut.
Mereka hanya punya satu
tujuan menyelamatkan jiwa-jiwa manusia yang terjebak diantara ketakutan dan
nestapa. Mengangkat derajat dan harkat martabat mereka agar di manusiakan oleh
manusia lainnya. Agar mereka nanti dapat melahirkan kesadaran baru, sebuah
kesadaran bahwa kekerasan dan peperangan hanyalah kisah duka nestapa saja.
Melahirkan sebuah generasi yang penuh kesadaran.
Dan Allah sendiri yang akan mengajari
kepada manusia-manusia yang jiwanya penuh empati ini, sehingga karenanya mereka
semua dapat masuk kedalam makom yang di symbolkan dengan Nun ini;
dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), (QS. 91:7)
Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk
dan sesungguhnya kepunyaan Kami akhirat dan dunia (QS. Al Lail 12-13)
Kecerdasan Spiritual dan Jiwa yang di sempurnakan !
Marilah kita ikuti rangkaiannya. Bagaimana manusia dimuliakan,
setelah mendapat pengajaran-Nya
Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada malaikat: “Tunduklah (beri hormat) kepada Nabi Adam”.
Lalu mereka sekaliannya tunduk memberi hormat melainkan Iblis; ia enggan dan
takabur, dan menjadilah ia dari golongan yang kafir. [QS. Al baqoroh 34]
dan bagaimana setelah manusia diselamatkan dari ketakutan ;
“….. serta
Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka
ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku.
Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.
(QS. An-Nur : 55).
Adakah kita pernah bertanya dalam
hati, siapakah yang menyelamatkan diri kita dan mengangkatnya kepada harkat
derajat manusia itu sendiri. Kalaukah mereka tahu (?), adalah Jiwa yang
terberkati (Nun), yang selalu datang menjadi
penghibur atas diri mereka, menjadi wakil-Nya di muka bumi ini, untuk mengasihi
mereka-mereka yang dalam kesedihan. (Sebab
DIA Maha Pengasih dan Penyayang). Mereka datang dengan hati dan
empati kepada sesama.
Nah, perhatikanlah, rangkaian ayat
tersebut. Secara tersirat mengambarkan kepada kita ada suatu Entitas di luar
system ketubuhan manusia yang di tiupkan oleh Allah dan kemudian
Entitas tersebut diajari oleh Allah sendiri. (Entitas yang di
tiupkan tersebut, Allah menyebutnya
ruh-KU). Dan bagaimana (ketika) Orang-orang ini menjadi penuh empati, penuh
belas kasih, dan menjadi welas asih kepada sesama. (?!)
Dalam rangkaian ayat berikutnya
dijelaskan lagi dan semakin memperjelas lagi adanya suatu proses belajar dan
mengajar kepada Entitas tersebut. Bagaimana kesudahannya, Ketika Entitas
(Adam) tersebut di uji oleh Allah untuk mempresentasikan hasil pembelajarannya
kepada audience para malaikat dan para Jin (?). Ternyata Entitas tersebut
(Adam) mampu mempresentasikan dengan baik hasil pembelajarannya!. Inilah yang
ingin diceritakan dalam rangkain, skenario Allah, meciptakan manusia.
Ternyata begitu luar biasanya
manusia, setelah di tiupkan-Nya
ruh-KU, manusia kemudian mampu dan sanggup menerima pengajaran
Allah secara langsung. Menerima pengajaran khusus dari Tuhannya. Sehingga
karena sebab kesempurnaannya itulah, seluruh makhluk kemudian di perintahkan
Nya untuk sujud menghormati manusia.
Menghormat (sujud) kepada Entitas
yang mampu belajar dan diajar. Yaitu Entitas
yang ‘sanggup menerima pengajaran Allah
secara langsung’. Dimana, diceritakan bahkan gunung-gunung pun tak
sanggup, akan hancur lebur bilamana menerima pengajaran Allah (Al
qur’an) tersebut. Entitas ini di symbolkan dengan Nun.
Entitas inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya. Meskipun banyak makhluk lainnya yang
memiliki instrument ketubuhan yang hampir sama. Namun hanya
manusialah yang sanggup menerima pengajaran (Al qur an) dari Allah.
Apakah ada makhluk lainnya yang mampu diajari Allah secara langsung, selain
manusia?. Maka dalam skenario inilah di gelar romantika kehidupan manusia.
Agar kepada masing-masing diri,
menuliskan ‘kebaikan’ didalam
jiwanya. Agar jiwa di sucikan, agar jiwa di sempurnakan, menuju makom yang
disymbolkan dengan ‘Nun’. Apa-apa yang di tuliskan manusia pada jiwanya akan
menjadi ‘Nun’. Menjadi ‘kalam’ itu sendiri. ‘Nun akan menjadi akhlak manusia
yang terpuji’. Maka alam semesta akan bersujud
kepada entitas ini. Jika manusia mengetahui.
Maka menjadi jelas sekarang; Manusia harus belajar bagaimana akhlak Nabi menyikapi dan
bagaimana Beliau sangat konsen sekali terhadap penyelamatan jiwa-jiwa manusia
yang terhijab. Dan bagaimana Beliau sangat berempati. Islam datang untuk
menyelamatkan jiwa manusia.
Kecerdasan Spiritual dan Jiwa yang di sempurnakan dalam
akhlak yang sempurna; adalah rahasia penciptaan atas manusia itu sendiri, dalam
harkat dan martabat kemanusiaan yang di symbolkan ~Nun~
~Nun , demi kalam dan apa yang mereka tulis, (QS. 68:1)
Akhlak rosululloh adalah kalam Al qur an itu sendiri.
Rabb
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui“. (QS. 2:30).
Telah disempurnakannyalah jiwa manusia
disini, dalam sebuah akhlak sempurna, adalah jiwa rosululloh sendiri.
Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. 68:4)
Maka kelak
kamu kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, (QS.
68:5). siapa di antara kamu yang gila. (QS. 68:6)
Siapakah diantara manusia yang merasa bisa menuliskan ‘ghaib’ dan ‘dianggap’ sebagai ketentuan takdirnya?.
Siapakah yang gila?.
Apakah mereka yang mengedepankan
kekerasan dan peperangan.
Ataukah jiwa-jiwa yang penuh
kasih dan empati kepada sesama?.
Bukankah sudah dikatakan bahwa surga dan neraka adalah atas
rahmat Allah semata?.
Kenapakah manusia tidak ber-serah diri (Islam).
Maka
serahkanlah kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini
(Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah
kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. (QS. 68:44)
⏩ Bersambung ke episode 10
https://samudrasimbol1.blogspot.com.au/2018/02/episode-10-kajian-simbol-qaaf.html
Nun adalah jiwa (kesadaran) manusia
untuk menyelamatkan manusia lainnya. Jiwa yang penuh empati, jiwa yang penuh
kasih sayang, welas asih. Memiliki keprihatinan yang dalam. Jiwa yang
senantiasa hanya berdoa kepada Tuhannya. Jiwa yang langsung berada di depan
untuk menyelamatkan manusia lainnya. Demi kemanusiaan itu sendiri. Jiwa seperti
inilah Jiwa yang ‘cerdas’. Jiwa-jiwa yang
telah di sempurnakan dalam pengajaran Allah, dan menempati intelejensi
spiritual tertinggi. Entitas yang sanggup menerima pengajaran Allah
secara langsung. Kecerdasan Spiritual dan
Jiwa yang di sempurnakan dalam akhlak yang sempurna; adalah rahasia penciptaan
atas manusia itu sendiri, dalam harkat dan martabat kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment