6. KAJIAN SIMBOL ‘Alif Lam Raa’
Oleh: Arif Budi Utomo
Dalam
mighrab,
kain
tersibak meluncurkan kata yang tak pernah di mengerti.
Bagaimanakah
memahami arti.
Pembicaraan
ini begitu rahasia.
Untuk
apakah mengetahui rahasia ini sendirian.
Seperti di
ujung daun di puncak pohon.
Angin
tentu akan keras menerjang.
Betapa
tubuh akan terayun tanpa pegangan.
Tentu saja lebih baik diam.
Namun bagaimanakah jika pertanyaan terus berguliran sepanjang malam. Apakah
hanya aku yang tahu. Apakah tidak ada yang mau tahu. Ataukah aku yang selalu
terjebak menjadi ‘sok’ tahu. Coba ceritakan padaku. Bagaimana caranya aku
bisa mengetahui, bagaimanakah keadaanku saat dalam tidurku sendiri ?.
Mengapa rahasia ini harus tetap
terjaga dalam keadaannya. Dan tidak boleh dikatakan?.
Coba ceritakan sekali lagi, bagaimanakah jika
aku mampu merencanakan diriku untuk ‘terkejut’ ?.
Bahkan kemarin untuk sekedar
mengingat ‘keterkejutan’ku, aku tak habis pikir. Mengingat kejadiannya, menjadi
sebuah kebodohan tersendiri. Mengapa kemarin aku tidak jadi terkejut?. Bukankah karena
sebab aku sudah terlambat untuk ‘terkejut’?.
Dan bagaimanakah aku bisa terkejut, jika untuk ‘terkejut’ yang ku ‘sengaja’ rencanakan tidak pernah berhasil. Bahkan aku tidak tahu caranya sama sekali !.
Terkejut adalah sesuatu yang
biasa terjadi dalam keseharian kita. Namun mengapa kita sendiri tidak tahu
caranya untuk bisa ‘terkejut’.
Pernahkan anda menyengaja
untuk ‘terkejut’ ?
Banyak sekali yang tak ku ketahui
perihal tubuh ini. Keadaannya banyak instrument ketubuhan yang berada di bawah
kendali saraf para simpatik (saraf tak sadar). Entahlah bagaimana dapat
bekerja sama dengan mereka, agar semua otot ini berada dalam
‘kemauan’ ku saja. Mungkin saja nanti aku dapat sengaja ‘terkejut’. Detak jatungku dapat ku atur
semauku. Saraf ‘sadar’ ku dan saraf
‘tidak ‘sadar’ku. Dalam kendaliku. (Hmm…mm).
Bagaimana nanti keadaannya jika
seluruh instrument ketubuhan ini, semua berada dalam kendali kita?.
Peredaran darah, metabolisme energy (ATP dan ADP), Sklus Kreb, Biosentesa
protein, kemudian system DNA dan RNA, dan semuanya, dapat ku atur semau-maunya.
Bukankah keadaannya tubuh ini akan ‘luar
biasa’ sekali?.
Bekerjanya jantung, paru, ginjal dan
organ-organ lainnya, tidak pernah mampu kita sadari. Mengapa keadaannya begitu?.
Kenapa manusia tidak dibiarkan untuk mengelola system di dalam tubuhnya
sendiri. Mengapa harus mengikuti dan pasrah atas keadaan yang ada di tubuh kita
ini?. Namun sayangnya, semakin ingin tahu perihal tubuh ini, semakin banyak
yang kita tidak kita tahu.
Lantas, bagaimana kita ‘merasa’ mampu
untuk mengetahui yang menciptakan diri kita?. Sementara mengenal diri sendiri
saja kita tidak bisa. Bagaimana cara kita mengenal Allah, kalau begitu?. Jika
kemudian pada akhirnya semakin banyak ketidak tahuan yang di nampakkan kepada
diri kita. Kemudian mau diarahkan kemana lagikah pencarian ini ?. Cobalah ceritakan kembali perihal ini !.
Untuk keperluan apakah manusia
menahan rahasia ini sendirian. Seperti di ujung daun di puncak pohon. Angin
tentu akan keras menerjang. Betapa tubuh akan terayun tanpa pegangan. Bukankah
lebih baik kita berserah saja. Kita kembalikan semua keingintahuan kita kepada
alam yang telah mengatur sistemnya. Sesuai dengan perintah-NYA.
Dan Allah telah memberikan ‘urusan’ itu kepada mereka semua (bumi
dan langit). Bukan kepada kita manusia. Atom-atom bumi dan langit mengatur ‘urusan’ NYA, yang telah di amanahkan kepada mereka !. Mereka sangat patuh,
dan sudah seharusnya mereka patuh. Semua ‘urusan’ itu (saya usung) di symbolkan
dengan;
~ raa
Mengetahui yang tidak tahu ?!
Adakah
bedanya orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu, sekarang ini?. Jikalau
pada akhirnya nanti, keduanya akan menjadi sama, yaitu akan sama-sama
tidak tahu, (saat umur sama-sama renta).
Pencarian
selalu akan berujung kepada ‘ketidak tahuan’ yang lainnya lagi !.
Begitulah
selalu keadaannya.
Pertanyaan bodoh, yang meski ku
ajukan memasuki kajian berikutnya ini. Banyak ‘anekdot’ yang menjungkir balikan
pemahaman. Kejanggalan yang justru masuk
di akal kita. Tak biasa, namun
biasa saja itu terjadi.
Ketidak tahuan adalah
hakekat ketidak mampuan kita
dalam memaknai kejadian. Hakekat tidak adanya kesadaran (Mim) yang meliputi diri kita. Seperti bayang-bayang di tarik dan di lepas dari tubuh kita.
Seperti itulah nantinya saat kita mulai merenta. Sebagaimana menjadi kejadian
biasa saja.
Terkejut dan tidur adalah dua
hal berbeda, namun memiliki satu kesamaan, yaitu keadaan hal dimana kesadaran kita tidak sedang berada
disini, saat ini, di raga ini.
Ketika kesadaran kita berada di raga ini, di saat terkini
kita waspada;
masihkah kita bisa terkejut?.
Seluruh instrumen ketubuhan kita
dalam keadaan waspada, siap menunggu apapun yang bakalan terjadi. Masihkan kita
mampu untuk terkejut ?. Kesadaran ada padaku. Maka semua keadaan mampu ku
hadapi !.
Jika kita siap dan waspada, dalam
kesadaran yang sempurna. Maka kita akan selalu terus terjaga. Jika
keterjagaan ini kita arahkan untuk menganggungkan asma-Nya, melalui tanda-tanda-Nya, di alam semesta.
Maka itulah ke bermakna-an dalam hidup.
Maka disinilah penting nya kesadaran (baca; Mim), saat berada (dikembalikan-NYA) di dalam raga kita. (Yaitu)
Saatnya berpacu dengan waktu di mulai. Dalam waktu yang sempit, dengan
adanya mim itu, harus mampu kita
pergunakan untuk memaknai segala sesuatu, apa yang ada dalam diri ini. Apa yang
ada dalam lintasan-lintasan hati. Dan juga apa-apa yang ada di kedalaman alam
semesta ini.
Ketika
kesadaran di tarik dan di tahan, maka kita akan memasuki fase tidur.
Jika
kesadaran di kembalikan ke raga kita; masihkah kita ingin tidur ?.
Namun ada
juga yang kemudian ‘terhijab’, (ketika) kesadarannya yang sudah dikembalikan, (nyatanya) tidak
kembali dengan sempurna, kesadarannya tidak mampu meliputi dirinya.
Maka sama
saja keadaannya dengan fase ‘tidur’ tadi. Hanya beda prosentase-nya
saja. Selalu
saja (dalam) keadaannya dia serupa ‘tidur’.
Maka inilah kesia-sia an dalam hidup !.
Marilah
kita eksplorasi pemahaman ini ;
Jika kita tidur, mampukah kesadaran
kita merasakan keadaan hal; tidur itu sendiri. Mampukah kita
memasuki serta ada di dalam ‘tidur’ yang dimaksudkan itu?. Dan dalam posisi
tersebut kemudian kita mengamati keadaan tidur kita.
(?)
Banyak sekali pemahaman
spiritual, yang mencampur adukan, pemahaman kata dan makna ‘tidur’ menjadi sebuah kesatuan.
Tidur dalam arti jasmani dan
rohani di campur adukan. Sehingga muncul pemahaman bahwa di saat tidur mereka
masih mampu melihat raga mereka. (Rogoh Sukmo).
Pertanyaanya adalah , jika
keadaannya seperti itu, bukankah hakekatnya dia tidak tidur ?.
Jika pemahaman ini kita kembalikan kepada Al qur an jelas akan
berbeda makna dan arti ;
“ Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu tidurnya; …”(QS. 39:42).
Berdasarkan pengertian ayat tersebut,
maka kita dapat memaknai bahwa ‘tidur’ yang dimaksudkan Al qur an adalah tidur
rohani (jiwa). Ketika jiwa di tahan, maka manusia akan kehilangan ‘kesadaran’ atas dirinya sendiri.
Dia tidak mungkin mengetahui apa-apa atas dirinya.
Maka atas dasar ayat ini, saya
meyakini bahwa saat tidur hakekatnya jiwa kita tidak bisa kemana-mana (di tahan
Allah). Inilah makna‘tidur’ secara
hakekat. Tidur sebagaimana dimaksudkan (QS. 39:42).
Lain halnya jika yang tidur hanya
sebatas jasmani saja. Maka jiwa masih akan mampu mengelana, kemana saja yang di
inginkan. Karenanya saat terbangun, masih menyisakan bekas-bekasnya (informasi)
bagi (kesadaran) jasmani kita.
Hakekat ini penting saya hantarkan,
agar kita tidak terjebak dalam suatu keyakinan bahwa kita memiliki kuasa atas ‘jiwa’ (baca; kesadaran) kita sendiri. Manusialah yang berusaha mengotak-atik keadaannya
ini. Sehingga dalam anggapannya, serasa (seakan-akan) kita lah yang berkuasa
atas mim (kesadaran) ini.
Pemaknaan bahwa kita juga memiliki ‘kuasa’
atas jiwa kita, inilah yang melahirkan banyak sekali aliran ‘kebathinan’. (Yang) terus berusaha,
dalam mengeksplorasi ‘jiwa’ manusia. Mengolahnya, mengarahkan, menentukan dan
mencari-cari ‘takwil’, yang disesuaikan. Mengabaikan info yang disampaikan Al
qur an, bahwasanya ‘jiwa’
manusia hakekatnya adalah ‘kuasa’ Allah
semata.
Apakah akan di tahan ataukah di kembalikan, semua hanya (karena) berkat KARUNIA dan RAHMAT -NYA saja.
Jiwa (baca; kesadaran) manusia, adalah bagian dari kesadaran
Universal. Pada saat tidur secara otomatis akan
kembali bergabung dengan kesadaran Universalnya, dan di tahan disana. Sehingga
manusia itu dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tidak ingat apa-apa. Inilah
sebenar-benarnya ‘tidur’.
Artinya, jika mim (baca; kesadaran) tidak di kembalikan; sama saja kita
tidak akan pernah mampu untuk memaknai apa-apa dalam kehidupan kita. Nol saja.
Hanya data-data, informasi tanpa makna.
Disisi lainnya, ada pula, suatu
ajaran yang mengajarkan untuk menyatukan kesadaran
(Mim), dan menggabungkannya dalam kesatuan dengan Kesadaran Universal (Ha). (Ada kesamaan
dengan analogy tidur). Padahal, sekali lagi Mim dan Ha masing-masing (telah) dalam urusan
yang sudah di tetapkan Allah.
Jiwa-jiwa manusia (mim), semisal perumpamaannya adalah air daratan yang telah membawa
beban kehidupan anak manusia, ada yang sudah bercampur lumpur, bercampur oli,
bercampur segala macam sampah ibukota, mengalir dari selokan-selokan, menuju ke
sungai. Dari sungai-sungai akan menuju ke laut. Di laut inilah beban kehidupan
akan diserahkan. Laut akan mengambil alih beban anak manusia. Sehingga jiwa
dalam ketenanganlah adanya.
Laut (Ha) menjadi tumpuan terakhir
perjalanan rohani jiwa (mim). Mereka mengarahkan objek
berfikirnya kesini (Ha). Mereka merasa dengan menyatu
dengan lautan (Ha) mereka akan menyatu dengan Tuhan.
Akan mendapatkan makom tertinggi sebagai manusia. Manunggaling Kawula
Gusti. Seperti menyatunya api dengan cahayanya pada sebuah kayu bakar, mereka
permisalkan dengan permisal ini.
Islam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk seperti itu. Mim adalah mim dan sementara Ha adalah Ha. Bersatunya mereka
adalah dalam ‘tasbih’, dalam
kesatuan gerak alam semesta,
(yaitu) kesatuan dalam
mengagungkan asma-NYA. Meskipun Ha meliputi mim. Namun mim tetap dalam jatidirinya,
sebagai Insan kamil. (Lihat kajian ‘Nun’). Inilah puncak
spiritual Islam.
Wali-wali
Allah akan senantiasa hidup untuk bertasbih mengagungkan asma-NYa. Puncak
spiritual Islam dalam hakekatnya seperti itu. (Yaitu) sebagaimana
dimaksud “Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa
orang-orang yan gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka ituhidup
seraya mendapat rezki dari Tuhannya.” (QS. 3 ;169)
Mereka sudah seharusnya
patuh
Sekali lagi, Mim seharusnya bertasbih bersama-sama Ha, mengagungkan asma-NYA. Karena sebab
diantara keduanya, dan pada masing-masingnya, sudah diberikan, ketentuan,
atau urusan, atau ketetapan, atau qodho dan qadar atau hukum-hukum-Nya, atau
aturan-aturanNYa atau ayat-ayat-Nya. (Yang) diberikan bagiannya
kepada para khalifah-NYA sesuai dengan keadaannya masing-masing.
Keadaan ini yang saya usung, kemudian di symbolkan dengan
~raa
Dalam rangkaian selanjutnya mim inilah yang menjalankan
dan melaksanakan urusan-urusan-Nya (ra). Penjadi pengemban amanah. Maka semestinya Mim harus senantiasa patuh atas ra, yang sudah di amanahkan. Dan seharusnya memang mim patuh. Sebab Ha sudah sukarela untuk patuh, dan memang tidak ada pilihan lain
bagi Ha selain patuh, dan sudah
seharusnya Ha patuh. (Maka menjadi
‘problematika’ ketika mim yang memasuki raga manusia tidak di gunakan untuk
patuh dan berserah atas raa yang sudah di amanahkan-NYA.)
Karenanya, bisa dimengerti saat Mim patuh sebagaimana Ha yang patuh. Dan saat Mim menyadari keberadaannya bersama-sama Ha (menyatu), kemudian bersama-sama bertasbih kepada-NYA. Akan menimbulkan
ketenangan dan kenikmatan luar biasa bagi Mim.
Mim akan merasakan sensasi Ha yang tenang, yang selalu pasrah dan patuh kepada Tuhannya.
(Maka dapat dimengerti bahwa
ada ajaran yang terus berusaha untuk bersatu dengan Ha saja).
Menjadi rangkaian
symbol atas makna pemahaman tersebut menjadi ;
Alif lam mim raa.
Oleh sebab itu, saya ingin menggaris
bawahi, bahwa kesadaran (baca; mim) adalah ‘gift’ (pemberian) Allah
semata, tak ada sesuatu apapun yang dapat kita lakukan, selain mengharapkan
karunia-NYA atas ini, sebab keadaanya, (sekehendak-NYA, ditahan atau di
kembalikan kepada raga kita) keberadaannya untuk merasakan sensasi Ha yang ‘teramu’ di dalam
raga kita. (Mencicipi sensasi rahsa). (Maka makna ‘tidur’ disini menjadi penting
untuk dipahami sebelum masuk kepada pemahaman yang akan saya usung
selanjutnya.)
Inilah (mengulang) hakekat pemahaman symbol ‘Ha dan Mim’, yang akan menjadi penghubung, yang
mengawali kajian symbol berikutnya.
Alif laam miim. (QS. 01 ; 1)
Kitab ini
tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. 01 ; 2)
Alif laam raa.
Inilah
ayat-ayat Al qur an yang penuh hikmah. (QS. 10 ; 1)
Alif laam miim raa
Ini
adalah ayat-ayat Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan kitab yang diturunkan kepadamu
daripada Rabbmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman
(kepadanya).
(QS. 13:1)
Symbol Alif di muka sudah kita maknai
sebagaimana perumpamaan ‘cahaya’ Allah (Lihat
Kajian; Alif lam
mim). Merupakan symbol utama, adanya energy, informasi,
dan lain-lain, yang menjadi penggerak alam semesta ini.
Symbol Alif inilah yang berangkat dari ketiadaan,
dari sesuatu dimensi yang belum bisa disebut. Kemudian dalam suatu rangkaian
penciptaan. Terangkai menjadikan adanya alam semesta ini, dalam dimensi
matery yang mampu kita saksikan. Dan alam semesta ini disymbolkan dengan;
~ Lam
Lam di rangkai kepada mim dan juga kepada raa, mengisyaratkan bahwa Alam yang
dimaksudkan mengadung makna atas hakekat beberapa alam , yaitu
alam dunia dan alam akherat. Dan juga alam-alam diantara keduanya. Alam-alam
yang harus disadari keberadaannya dalam kesadaran (mim) kita. Maka keadaan ini di khabarkan terus menerus oleh Al qur
an.
Mereka dalam urusannya (ra) masing-masing. Sehingga dapat kita
mengerti jika kemudian Al qur an menggunakan symbol tersebut dengan secara
terpisah, dan kemudian menggabungkannya dalam satu symbol yang berangkai
sempurna. Kesadaran diri (mim) mendahului atas ra , menjelaskan satu sama lainnya,
menjadi arangkaian ayat yang berlaku di alam semesta.
Alif, lam sendiri bersama mim,
dalam suatu pemahaman bahwa keadaannya berada dalam satu
kesadaran.
Alif , lam sendiri bersama raa (yaitu) dalam suatu urusan yang
sudah di serahkan.
Alif, lam bersama-sama mim dan raa, menjelaskan hubungan
diantara mereka berlakunya hukum-hukum , aturan, urusan, dll sebagai
tanda-tanda kekuasaan-NYA, akan tetap keadaannya bersama para saksi-saksi Nya.
Lengkap dengan hukum-hukum-NYA bagi mereka yang mengingkari;
Alif laam mim, Alif lam raa,
dan
dipertegas keadaannya dengan symbol yang menguatkan keduanya,
Alif lam mim raa.
Ini adalah
ayat-ayat Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan kitab yang diturunkan kepadamu daripada
Rabbmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman
(kepadanya).
(QS. 13:1)
Itulah symbol-symbol atas ayat-ayat
Al qur an yang menjadi bagiannya masing-masing Alif, laam, miim, dan raa. Bersama-sama menjadi komponen penyusun dan pengatur alam
semesta ini. Menjadi satu rangkaian bukti-bukti ‘kekuasaan’ Allah, ‘kebesaran’ Allah.
Maka mereka semua bertasbih, langit dan bumi, dan seluruh alam semesta ini
bertasbih, mereka patuh, dan sudah seharusnya mereka semua patuh dalam suatu
rangkain system yang tali temali.
Menghakimi sang ‘AKAL’
Pernahkah
terpikirkan bagaimana cara bekerjanya komputer.
Bagaimana
komputer mampu mengolah data demikian luar biasanya.
Ada
dimanakah ‘kecerdasan’ komputer?.
Saat
komputer ‘searching’ dengan
apakah dia melakukan ‘pengenalan’?.
Kemudian
menampilkannya kepada kita apa yang kita inginkan.
Dan
menyajikannya kepada kita sudah dalam keadaan siap pakai.
Kecerdasan
apa yang di miliki mesin pencari ‘google’?.
Komputer
dapat mengolah data yang begitu sulitnya.
Adakah ‘kecerdasan’ di dalam komputer?.
Pernahkah terlintas perumpamaan ini,
bahwasanya tubuh kita sebagaimana komputer juga. Allah telah meng input data (menyusupkan) kefasikan dan
ketakwaan. Adakah ‘kecerdasan’ kita
yang mampu ‘searching’ (?),
kemudian menyajikannya di layar (akhlak) dengan benar. Tidak menampilkan
kefasikan yang disangka kebaikan (ketakwaan) atau sebaliknya. Bukankah kita
sering salah ‘memindai’ (searching),
keburukan sering di sangka kebaikan. Jadinya menyintai selain Allah seperti halnya
menyintai Allah.
Dimanakah ‘mr google’ di dalam tubuh kita?.
Mengapakah kita sering keliru
‘searching’ nya, sehingga tampilannya (akhlak) tidak sebagaimana yang
dikehendaki Allah (?).
Pernahkah terlintas bahwasanya alam
semesta ini adalah sebuah kotak komputer yang maha besar?.
Dan Buku Manual-nya adalah Al qur an yang ada di tangan kita?.
Sayang kita sendiri yang belum
mengetahui bagaimana cara membacanya. Sebab Al qur an banyak menggunakan bahasa
symbol.
Namun bukankah komputer yang kita
pakai juga menggunakan bahasa symbol?. Bahasa yang sulit dimengerti manusia
awam?. Kalau begitu bagi kita yang awam, sama saja keadaannya.
Sama-sama akan mengalami kesulitan dalam menguraikan
maknanya.
Nah, pertanyaan kembali mengemuka.
Apakah sama antara orang yang tahu dan orang
yang tidak tahu?.
Apakah setiap orang harus tahu bahasa symbol ini?.
Sejenak kita luruhkan analogy
ini…!.
Pernahkah terlintas dalam diri kita,
bahwa untuk membaca simbol-simbol yang menjelaskan, bagaimana
system alam semesta bekerja. Kita selalu diajari-NYA?.
Manusia di ajarkan melalui para Nabi
dan Rosul?.
Berita system pengajarannya di
kisahkan dan di khabarkan oleh Al qur an melalui ayat-ayat yang teratur sangat
rapi sekali. Adakah terlintas dalam akal kita ?.
Buku manual yang dari dahulu terus di
sempurnakan, di era para nabi. Sesuai dengan peradaban manusia yang meliputi di setiap
masanya. Hingga kemudian menjadi benar-benar sempurna, dengan turunnya
Islam. Islam dilengkapi dengan buku manual yang kita kenal dengan Al qur an,
yang berada di tengah-tengah kita sekarang ini.
Al quran sudah ada di tangan kita,
dan menantang siapa saja yang berkeinginan untuk mengetahui hakekat
alam semesta dan penciptaannya. Bukan hanya sekedar khabar atas surga
atau neraka saja. Akal di minta untuk berfikir melihat ke kedalamannya, melihat
dengan hak, keberadan alam semesta yang di nampakkan di hadapannya. Siapakah
yang menggerakkannya?.
Sayangnya, Akal manusia nyatanya hanya tunduk kepada dan
atas apa yang dilihatnya, (yaitu) melalui mata, melalui yang dirahsa
indra perasa, melalui indra pendengaran apa yang pendengaran, dan akal hanya
mau menerima informasi dari instrument indrawi saja !.
Akal hanyak mau menerima sesuatu yang ‘real’ saja. Akal
akan menolak informasi yang masih ‘ghaib’ bagi dirinya.
Maka kepada manusia di berikan mim, sebagai sarana untuk
membuka rahasia ini. Sebagai instrument yang ‘menghakimi’ sang akal bilamana dia bekerja. Kesadaran (mim) adalah karunia dan rahmat Allah kepada manusia. Sebab
kepadanya di berikan instrument ‘bashiroh’ yang membantunya dalam memilah informasi. Karena dengan ini kita mampu mendapatkan
nikmat-nikmat dalam beribadah kepada-NYA.
Nikmat-nikmat yang tidak mampu
dirangkai dengan kata-kata. Saat mana kita memasuki alam-alam yang sudah di
hamparkan-NYA. Inilah jalannya orang-orang yang ‘mencari’, jalannya orang yang diberikan nikmat atas setiap etape
yang berhasil diselesaikannya. Sebagai upah capai dan lelahnya yang
senantiasa memikirkan ‘ciptaan’-Nya. Menjadi saksi atas ke Maha Besar an –NYA.
Rangkaian yang menjelaskan
Sebuah rangkaian symbol menjelaskan
keadaan itu. Keberadaan alam semesta harus di sadari oleh miim. Dari sekian milyard manusia, selalu akan ada manusia yang mampu
sebagaimana ‘miim’ ini di setiap peradaban. Masalahnya, orang-orang yang
diberikan hikmah selalu akan bersembunyi atau disamarkan. Sebagaimana nabi
Khidir yang keberadaannya disamarkan. Maka bagi manusia awam, cukuplah menjadi
saksi atas keberadaan alam semesta ini, atas ke agungan-NYA, yang telah
mengadakan dan menjadikan semua itu dalam keadaannya begitu.
Maka sebagaimana pertanyaan di muka,
bagaimana keadaannya jikalau kita ‘tidur’?.
Sebagaimana dimaksud dengan ‘sebenarnya tidur’?.
Bukankah keberadaan kita akan sia-sia?.
Bukankah dengan ‘tidur’ kita tidak akan pernah merasakan ‘kenikmatan hakiki’?.
(Yaitu) bagaimana nikmatnya beribadah
kepada-Nya?.
Bagaimana kita mendapatkan ketenangan yang luar bisa saat
bertasbih bersama Ha, yaitu bertasbih bersama alam semesta. (Sebagaimana Nabi Daud).
Maka bagi para ‘pencari’ di saat di kembalikannya ‘kesadaran’ (mim) kepada dirinya. Itulah nikmat yang tak terkatakan. Dengan ini,
dia akan bisa meng eksplorasi lagi, kenikmatan-kenikmatan dalam beribadah
kepadanya. Rasa syukur begitu luar biasanya dalamnya, (yaitu) saat ‘mim’ dikembalikan lagi ke raganya. Terus demikian keadaannya
begitu. Setiap bangun pagi pasti melantun ucapan syukur yang sangat dalam
kepada-Nya. Di hadapannya nampak membentang kenikmatan-kenikmatan adanya.
Maka diri kemudian mensyukuri terus
setiap detiknya, atas nikmat ‘kesadaran’ yang
di kembalikan. Dia mensyukuri keberadaannya di dalam raga ini, di saat
ini. Dia mensyukuri saat dirinya
terbangun dari ‘tidur’ nya.
Dan jika keberadaan ini disadari
terus, maka kemudian selanjutnya dia akan mampu merasakan betapa
nikmatnya, berjalan menuju ke masjid, saat sholat subuh. Sungguh luar biasa
sekali rangkaiannya. Kenikmatan yang tidak terganti dengan apapun ‘kenikmatan’
di dunia ini, saat (dalam) keadaan ini.
Maka Islam sangat menganjurkan umatnya untuk sholat
berjamaah di waktu subuh. Saat awal di kembalikannya mim adalah saat menentukan dalam waktu-waktu berikutnya.
Betapa saat itu kenikmatan saja adanya. Sayang sekali umat muslim, banyak yang
melupakan kenikmatan yang satu ini.
Oleh karenanya itu, dikembalikannya
kesadaran (mim) hakekatnya adalah sebuah anugrah,
sebuah karunia yang besar. Dengan itu kita mampu menikmati saat-saat kita
beribadah kepada-NYA. Maka dari itu,
jangan sia-siakan waktu saat ‘kesadaran’ baru saja di kembalikan
kepada kita. Gunakanlah untuk menikmati ibadah kita. Langkahkanlah kaki
menuju masjid saat pagi. Disana ada kenikmatan yang tiada terperi. Jika saja
kita mengetahui ini. Meski dengan
‘merangkak’ pastipun akan di jalani. Sungguh !.
Maka dengan inilah kajian rangkaian
symbol ‘Alif lam mim raa’, di
hantarkan, agar kita mampu mendapatkan pemahaman, kenikmatan-kenikmatan dalam beribadah kepada-Nya, sebagaimana
doa kita sepanjang waktu;
Tunjukanlah kami jalan yang lurus.
(Yaitu)
jalannya orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.
(QS. 1 ;
6-7)
Jika jalan
kenikmatan itu sudah ditunjukan, masihkah kita menunggu?. Tidakkah kita
mengetahui bahwasanya jalannya orang-orang yang diberikan nikmat adalah (hanya)
ibadah kepada-NYA. Yaitu kenikmatan di kedalaman atas
hakekat beribadah itu sendiri?.
Bersambung ke episode 7
https://samudrasimbol1.blogspot.com.au/2018/02/episode-7-kajian-simbol-ha-mim.html
https://samudrasimbol1.blogspot.com.au/2018/02/episode-7-kajian-simbol-ha-mim.html
Bersatunya ‘Ha dan Mim’ adalah dalam ‘tasbih’,
dalam kesatuan gerak alam semesta,
(yaitu) kesatuan dalam ‘mengagungkan asma-NYA’. Meskipun Haa
meliputi miim. Namun miim tetap dalam jatidirinya. Mim inilah yang menjalankan dan
melaksanakan urusan-urusan-Nya (raa). Menjadi pengemban amanah. Maka semestinya Mim harus senantiasa patuh atas raa, yang sudah di amanahkan.
Alif, lam, mim, dan raa menjadi komponen penyusun dan pengatur alam semesta ini sebagai
bukti-bukti ‘kekuasaan’ Allah, ‘kebesaran’ Allah.
No comments:
Post a Comment